Disusul
kemudian masuknya Pangeran Muhamad dan Siti Armilah dari Cirebon yang
menyebarkan agama Islam di wilayah Sindangkasih (sekarang Majalengka), maka keberadaan
gembyung sebagai seni tradisi Islam semakin menguat di masyarakat.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRHgMCXzUNnuLvIX8feSUB3ZHRhYDwW6cWnF8IL1jbDGtv5F24QDEcVTOAKZWCS5AuP0MMjp6y3DTtipUaPb3jGsJqvplIil-Zlj9cN97ErmsIrUXADKivRdN26dG5tVb63pO8hPG6Vpo/s200/IMG_20160407_083453.jpg)
WADITRA DAN TATA CARA
PERTUNJUKAN
Pada
awal perkembangannya, kesenian ini menggunakan waditra rebana, dari rebana berukuran
kecil hingga rebana berukuran besar yang berfungsi sebagai gong. Namun selanjutnya
dikembangkan lagi dengan menambahkan beberapa alat music yang lain seperti suling
dan rebab.
Selengkapnya
waditra yang digunakan adalah : rebana, kentung 2 buah, kemong 2 buah, kendang katipluk,
kulanter, dan rebana gembyung 2 buah.
Penampilan
gembyung diawali dengan pembacaan tawasul dan hadoroh kepada Nabi Muhamad SAW,
keluarga dan sahabat, serta para pengikutnya. Kemudian tampil lagu-lagu salawat
yang bersumber dari kitab barjanji (yaitu kitab yang ditulis oleh Imam Barjanji)
atau yang disebut diba.
SumberTulisan : Profil Kesenian Kabupaten Majalengka
(Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisat Kabuapten Majalengka 2014)