Nama kampung Naga bagi orang
Tasikmalaya mungkin tidak asing lagi atau, mungkin bagi masyarakat Jawa Barat. Karena
kampung naga merupakan salah satu kampung wisata budaya unggulan Jawa Barat
yang terkenal bukan hanya di Jawa barat bahkan sampai ke manca negara. Maka,
tak aneh jika setiap harinya kampung
naga ini dipadati oleh para wisatawan baik lokal, domestik dan wisatawan manca
negara.
Lalu kenapa kampung naga dijuluki
kampung wisata budaya?
Rupanya yang menjadi jawaban
pertanyaan tersebut adalah karena sampai saat ini masyarakat kampung Naga masih
tetap menjaga serta melestarikan warisan adat istiadat dan budaya para
leluhurnya secara total dalam perilaku keseharian kehidupan mereka. Baik dalam menjaga
hubungan mereka dengan sang pencipta, sesama makhluk hidup serta dengan
lingkungan sekitarnya, sehingga terciptanya keharomnisan dan keseimbangan alam.
Secara administratif kampung Naga
berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Lokasinya
tidak terlalu jauh dari jalan provinsi yang menghubungkan kota Garut dengan
kota Tasikmalaya.
Daerahnya sangat subur karena dilalui
oleh sungai Ciwulan yang berhulu di hutan gunung Cikuray di daerah Garut. Di sebelah
barat kampung Naga ada sebuah bukit dan hutan keramat , tempat dimakamkannya para leluhur masyarakat Kampung
Naga. Sedangkan disebelah selatan terhampar luas hijaunya pesawahan.
Jarak dari kota Tasikmalaya ke kampung
Naga lebih kurang 30 km, sedangkan kalau dari kota Garut hanya sekitar 26
km. Untuk mencapai tempat ini dari jalan
raya Garut-Tasik kita harus menuruni jalan yang bersengket kurang lebih 500
meter, setelah itu kita akan sampai dipinggir sungai Ciwulan. Perjalanan dilanjutkan
dengan menapaki jalan setapak dipinggiran sungai ciwulan hingga berakhir di
perkampungan kampung Naga.
Begitu masuk digerbang kampung Naga,
Anda akan langsung dapat membedakan kampung Naga dengan perkampungan lain pada
umumnya. Karena diantaranya semua bangunan rumah di kampung Naga berupa rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu
yang atapnya terbuat dari ilalang dan ijuk karena menurut aturan adatnya harus
seperti itu. Rumah warga kampung Naga semua menghadap ke arah tenggara atau
selatan dan atap bangunan memanjang kea rah timur-barat. Semua bangunan rumah
tidak dicat sintetis mereka hanya menggunakan kapur (labur) atau cat meni.
Anda dijamin merasa betah karena lingkungannya
sangat asri dan bersih disetiap halam rumah tidak ada sampah yang berserakan
atau pun rerumputan liar. Setiap bangunan rumah satu dengan rumah yang lainya
dibatasi dengan bebatuan yang disusun rapi.
Menurut Kuncen (Tokoh) Kampung Naga, bahwa semua warga kampung Naga
berprofesi sebagai petani. System pertanian di kampung Naga berbeda dengan
umumnya mereka masih menggunakan cara-cara yang dicontohkan oleh para
leluhurnya. Contohnya bibit padi yang ditanam sampai sekarang ini masih menggunakan bibit padi yang dinamakan Pare Gede. Adapun alasan mereka masih
tetap menggunakan bibit pare gede tersebut
yaitu sebagai penghormatan kepada Nyi Dewi Sri atau Nyai Pohaci yang dipercaya
sebagai dewi yang menyebarkan padi di dunia.
Begitu pula dalam system pengolahan
gabah menjadi beras mereka tidak pernah menggunakan mesin penggilingan padi
modern, tetapi hanya dengan cara menumbuknya pada sebuah lesung ( lisung).
Warga kampung naga, bukan berarti
menolak adanya teknologi tapi mereka lebih memilih teknologi alamiah. Contohnya
untuk menjaga kelestarian hutan mereka hanya mengunakan kata pamali sehingga tidak ada yang pernah
berani untuk menganggu hutan tersebut.
Kata pamali mengandung arti larangan yang dipercaya mempunyai kekuatan,
sehingga barang siapa yang berani melanggar akan menanggung akibatnya. Selain itu
masyarakat kampung Naga tidak pernah memanfaatkan teknologi informasi seperti, televisi,
handphone, komputer dll. Bahkan tidak pernah mengenal listrik karena mereka
khawatir jika listrik masuk akan merubah gaya hidup warga kampung Naga. Sebagai
gantinya mereka hanya menggunakan setroom dari accu saja.
Selain menggunakan kata pamali yang artinya sama denagan kata “haram” dalam
bahasa agam Islam, juga dikekang oleh beberapa larangan (pantrangan) yang tidak
boleh dilanggarnya. Diantaranya yaitu:
1.
Tidak
boleh menceritakan asal usul kampung Naga pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu.
2.
Tidak
boleh melaksanakan hajatan-hajatan
seperti khitanan, menikahkan pada bulan Safar dan bulan Ramadhan (puasa).
3.
Dilarang
melakukakan niatan (kegiatan) pada
hari-hari nahas (naas). Hari-hari nahas (naas) ini telah ditentukan pada setiap
bulannya, seperti Bulan Sura (Muharam) naasnya yaitu hari Sabtu-Minggu tanggal
11 dan 20, bulan Safar hari Sabtu-Minggu tanggal 1, 20, bulan Mulud hari Sabtu-
Ahad tanggal 1, 15, bulan Silih Mulud hari Senin- Selasa tanggal 10 dan 14 dan
sterusnya.
Baca Juga : Bukit Panyaweuyan Surga di Atas Awan
Baca Juga : Bukit Panyaweuyan Surga di Atas Awan
4. Tidak
boleh mementaskan kesenian dari luar kampung Naga selain kesenian asli warga
kampung Naga seperti terebangan,
angklung, beluk, kidung dan pantun.
Selain itu ada beberapa upacara adat
yang tidak boleh dilanggar diantaranya, upacara adat Hajat Sasihan, upacaraadat Pareresan,
upacara adat Pangantenan dll.
Upacara
Hajat Sasihan merupakan
upacara adat syukuran kepada Allah Swt dan kepada Rasul Nabi Muhamad Saw, yang
telah melimpahkan kesehatan keberkahan serta hasil panen yang berlimpah
sekaligus merupakan penghormatan kepada leluhur karuhun masyarakat Kampung Naga nyaitu Eyang Singaparna yang
dianggap yang menurunkan keturunan warga Sanaga.
Upacara adat sasihan diselenggarakan
secara besar-besaran yang diikuti oleh seluruh warga Sanaga. Upacara adat ini
dilaksanakan pada bulan Sura (Muharam), bulan Mulud, bulan Jumadil Akhir, bulan
Rewah, bualan Sawal Puasa dan bulan Rayagung yang bertempat di Bale Patemon
Kampung Naga.
Adapun kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan pada Hajat sasihan ini diantaranya yaitu mengganti pagar bamboo
dan memberihkan makam Bumi Ageung (Makam
Eyang Singaparna), memandikan barang-barang pusaka, (beberesih) mandi di
sungai Ciwulan, membaca tahlil dan doa bersama diakhiri makan bersam di Bale
Patemon.
Simpulan :
Kampung Naga dan para
warganya dapat dijadikan contoh dalam menjaga keutuhan sumberdaya alam dan social
budaya yang baik tidak mudah terpengaruh oleh budaya-budaya asing. Selain dari
pada itu ternyata bahwa primitifitas atau
adat istiadat asli warisan nenek moyang itu telah menjadi ikon pariwisata dan
bahan observasi yang sangat menarik.
Warga kampung Naga bukan
hanya beretika dengan Tuhan-Nya akan
tetapi mereka juga mampu beretika dengan lingkungan
sekitar dimana mereka berada.
Catatan :
Bila Anda akan berkunjung
ke Kampung Naga hendaknya diwaktu-waktu penyelenggaraan ritual warga kampung
Naga, agar Anda bisa menyaksikan pelaksanaannya.